Asal
kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan
kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara
Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya
Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki
Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari
luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk
setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman
di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara
Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain
yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti
campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede
Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon.
Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di
sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di
sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh
menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran.
Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar
Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh
yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan
pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi
berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan
mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana
telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan
kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu
Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar,
karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil
setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama
Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati
sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan
Cirebon.
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon.
Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah.
Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo
didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi
benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan
yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan
hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang
berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana
raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran
Mas Mochammad Arifin II] (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta
dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati
Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan
Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan
Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana
yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid
Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan
dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton
Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada
waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat
latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu
itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai
macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk.
Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya
dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat
perekonomian yaitu pasar — sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat
terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan
bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun
ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak
di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh
seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan
terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat
dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya
merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman
sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti
yang merupakan tempat para perwira keraton
ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat
bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan
ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah
duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang
tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini
didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk
segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang
dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar
bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi
sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura
Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata
Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M).
Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan
sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti
Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan
negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil
terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri.
Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah
tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan
keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah
SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau
melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama
Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun
islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah
kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang
melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu.
Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para
pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande
Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan
inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong
Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul
Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga
berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya
Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi
Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
KERATON KESEPUHAN CIREBON
KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan,
Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali
didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon
pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton
Kasepuhan memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton
lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah
kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini terletak di selatan
alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun
adalah bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke
arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat
disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini,
serta benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu
berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini melambangkan
“Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam kepemimpinannya tetap harus mampu
melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah
pemerintahan pada masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada
di Cirebon. Hal ini menunjukan betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon
dalam membangun ekonomi pada masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan
menjalankan tampuk pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman
Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di
cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, keratin kesepuhan,
Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon.
Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam
di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga
kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman
masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan
tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam
leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan
syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal
dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6
hektar ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua
belas yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman
merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno.
salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal
Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung
Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih
terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang
dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta,
terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan
pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton
terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya
piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua
keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting
dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di
halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton
selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat
perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.
Menengok Koleksi
Keraton Kanoman Cirebon.
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang
menjadi tujuan pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak
tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk mencapai
tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang menjajakan
dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah menuju keraton.
Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan
buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau
tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton.
Lengang, sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi
pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal paseban, tampak
tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang
tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan
utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, atau
Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu, di Bangsal
Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton menerima tamu penting,
sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang
teduh. Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan
pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya berhiaskan
piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli dari Negeri
Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman, pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika
memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang
tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari
kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung
tertuju kepada jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman.
Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350
Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya sebagai
kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah
1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian
depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman
(gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur
kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa
membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan
roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais menjelaskan,
konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang
basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk
permaisuri dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu
juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais
menceritakan kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga
pula ia menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari
konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian
pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek
papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis
daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak
termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata,
mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka
perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah
pusat peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton
Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Keraton
Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya
melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah
ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat
kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan Islam
masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang menjadi penutup
acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas
1,5 hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi Sultan
Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km sebelah barat
pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari.
Sayang, bahkan pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi
pengunjung
Keraton Kacirebonan.
Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini
banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang
perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman,
Keraton Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan
kebiasaan dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH
SULTAN KERATON KECERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon,
tepatnya dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini
dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur estetik
bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang merupakan salah
satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah Cirebon, Pembangunannya
dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya berasal dari benak Sang Patih
Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai
peminta sejarah dan kebudayaan. Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah
“Purwaka Caruban” yang berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi,
dan Raga atau Ragi berarti jasmani.
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek
bangunan kuno yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri
dari satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.
Tempat
Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta
hias, dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh
dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta Kencana
Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan,
kediaman Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di
atas tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di
Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat sekitar.
Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan
bebatuan. Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi.
Hanya tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya,
untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta per
bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah
Kota (Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi Pariwisata,
Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota Cirebon hanya Rp 70
juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat bersejarah di Cirebon. Jadi,
tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan
saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota
Cirebon. Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum
cukup,” ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada
14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota
Cirebon. Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan
kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon sekitar
empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi persimpangan
lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di perbatasan Jawa Barat dan
Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal
Harjamukti membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa
menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit saja
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan
mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka untuk
umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat seorang pemandu,
yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya
bukan bernama Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang
panjang. Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk,
dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. Keraton
berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian diserahkan kepada
putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi nama Keraton Pakungwati
atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung
Jati. Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat.
Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian nama
dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton Kasepuhan
artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan
namanya. Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton
Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah istana.
Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan tua bersejarah,
yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti
Inggil yang berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah
berupa Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal,
terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk
melihat pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar
sidang bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh
seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem
Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem Pangrawit
terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan bupati. Ruang tamu
di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di ruangan tersebut. Jinem
Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan porselin dari Portugis, Tiongkok,
dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya
Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan peralatan di
Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara tersebut. Keramik
Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari kaisar Tiongkok kepada Sunan.
Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan putri kaisar bernama Tan Hong Tien
Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15,
sementara keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan
terhadap keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai
di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem
Pangrawit. Ruang tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan
para Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan
aturan yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman
untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam area
keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi kaum perempuan,
termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran
Cakrabuwana Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis
Wanita tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota
menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh
tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk, maka ia
keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau hilang
kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam
keraton Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi,
sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral
tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan
Keraton Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi
permaisuri, dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini
sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki ruang
pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu berjam-jam
untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang
kosong yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda
pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar sang
permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak
jelas terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat
penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan gemar
mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum, yakni Museum
Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari
kerabat Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan
di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur Sunan
juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana
Singa Barong diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana
Singa Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta
yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad Arifin.
Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga
perpaduan budaya pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen
perpaduan budaya dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara
India, kepala naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang
berarti bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati
lewat pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta
ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah
taman air nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut
bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban
Nagari, didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada
1703. Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni
Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar
dipenuhi dengan lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai
tempat bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di
taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau
irigasi ke Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah
lorong bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif
ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua
Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Tiongkok
kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya,
keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada
pemerintah.
Sumber. http://silihasih.blog.com
0 komentar:
Posting Komentar